Ilmu filsafat mempunyai obyek material dan obyek formal. Obyek material ialah apa yang dipelajari dikupas sebagai materi (matei) pembicaraan, yaiu tanda-tanda "manusia di dunia mengembara menuju akhirat". Dalam tanda-tanda ini terang ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia dan akhirat. Maka ada filsafat wacana menusia (antropologi), filsafat wacana ala (kosmologi), dan filsafat wacana alam abadi (teologi - filsafat ketuhanan: kata alam abadi dalam kontek hidup diberiman sanggup dengah praktis diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, lantaran pembicaraan wacana yang satu pastilah tidak sanggup dilepas dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat wacana alam abadi atau Tuhan spesialuntuk sejauh yang dikenal insan dalam dunianya.

Ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) wacana suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) sanggup dipakai untuk membuktikan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu wacana seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat ialah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren wacana seluruh kenyataan (realitas). Filsafat ialah refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan insan yang bertingkat tertinggi ialah filsafat yang ialah pengetahuan benar terkena hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi insan ... Bagian filsafat yang paling mulia ialah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang ialah lantaran dari segala kebenaran".
Unsur "rasional" (penerapan logika budi) dalam acara ini ialah syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan insan di dunianya menuju akhirat. Disebut "secara mendasar" lantaran upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan terkena hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis "tiruana orang ialah filsuf, lantaran tiruana mempunyai salah satu perilaku terhadap hidup dan kematian. Ada yang beropini bahwa hidup itu tanpa harga, lantaran hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga sanggup dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup ialah tanpa harga; bahwa ancaman yang selalu hadir yang membuat kita sanggup kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup". Mengingat berfilsafat ialah berfikir wacana hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - berdasarkan Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" bekerjsama kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemdiberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang didiberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya ialah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang mempunyai akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu erat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan. Kata "vidya" pun erat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, logika dan kebijaksanaan kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang sanggup dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal kebijaksanaan manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita sanggup melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau logika kebijaksanaan melepaskan dari materi spesialuntuk segi yang sanggup dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari tiruana ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita sanggup meng-"abstrahere" dari tiruana materi dan berfikir wacana seluruh kenyataan, wacana asal dan tujuannya, wacana asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika terang sudah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “hadir sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup beberapa aspek “segalanya”. Filsafat hadir sebelum dan setelah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” lantaran tiruana ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai penggalan dari filsafat dan disebut “sesudah” lantaran ilmu pengetahuan khusus niscaya menghadapi pertanyaan wacana batas-batas dari kekhususannya.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan wacana wujud atau memetik pelajaran darinya, bila ia memahami sendiri gagasangagasan wacana wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan menolongan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat. Tetapi bila gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang ialah tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terlampau menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasive digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan wacana wujud atau memetik pelajaran darinya, bila ia memahami sendiri gagasangagasan wacana wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan menolongan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat. Tetapi bila gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang ialah tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terlampau menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasive digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.
(Sumber: Catatan Kuliah Ilmu Flsafat))
0 Komentar untuk "Manusia Berfilsafat"