Moralitas Dan Hukum

Moralitas dan Hukum

Bila berbicara kebudayaan dan moral, maka kita perlu melihat konsep-konsep kebudayaan.  Moral ialah potongan dari kebudayaan yang terdalam yang dimiliki manusia, yang berada dalam wujud sistem nilai budaya, beserta dengan banyak sekali gagasan, nilai-nilai, norma-norma lainnya serta hal lainnya yang bersifat abstrak. 

melaluiataubersamaini demikian, apabila kita membedakan insan dan hewan secara khas ialah bahwa insan mempunyai kesadaran moral. Norma moral ialah tolok ukur yang digunakan masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. melaluiataubersamaini demikian, dengan norma moral kita betul-betul dinilai apakah kita baik atau buruk.

Orientasi moral seseorang yang dijadikan dasar pertimbangan nurani, sanggup tidak sama bagi setiap orang. Minimal ada empat orientasi moral yaitu (1) orientasi normatif, yaitu orientasi yang mempertahankan hak dan kewajiban serta taat pada aturan yang berlaku, (2) orientasi kejujuran, yaitu orientasi yang menekankan pada keadilan dengan serius pada kebebasan, kesamaan, pertukaran hak dan kesepakatan, (3) orientasi utilitarisme, yaitu orientasi yang menekankan konsekuensi kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain, dan (4) orientasi perfeksionisme, yaitu orientasi yang menekankan pada pencapaian martabat dan otonomi; kesadaran dan motif yang baik; serta keharmonisan dengan orang lain.

Orientasi moral ini dipandang penting sebab akan memilih arah keputusan dan tindakan seseorang. Orientasi moral akan sangat kuat terhadap moralitas dan pertimbangan moral seseorang, sebab pertimbangan moral ialah hasil proses kebijaksanaan sehat yang dalam proses kebijaksanaan sehat tersebut ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan orientasi moral serta pertimbangan konsekuensinya.

Setiap masyarakat mempunyai orientasi moral yang menjadi sumber moralitas masing-masing. Tidak selamanya bersandar pada temuan empirik manusia. Bagi masyarakat yang beragama, prinsip kepercayaan terhadap nilai-nilai ke-Tuhanan sanggup dipastikan diletakkan sebagai sumber utama. Terdapat enam norma teladan yaitu (1) norma agama; (2) budaya agama; (3) budaya budpekerti atau tradisi; (4) aturan positif atau negara; (5) norma keilmuan, dan (6) norma metafisis.

Berbicara wacana kebudayaan nasional, berarti berkait dengan duduk kasus kepribadian, tujuan bersama untuk hidup sebagai bangsa dan juga berkait wacana motivasi untuk membangun. Tetapi, yang utama secara tersirat juga berbicara wacana nilai-nilai luhur budaya bangsa. Berbicara wacana nilai-nilai luhur budaya bangsa, secara konseptual ialah salah satu wujud potongan dari kebudayaan, yaitu sistem budaya atau sistem nilai budaya. Nilai budaya harus sanggup memdiberi identitas kepada masyarakat negaranya.

Hukum ialah unsur yang mutlak bagi tiruana masyarakat manusia. Dalam  perkembangan antropologi, di kurun ke 19, sudah disadari bahwa aturan atau sistem normatif ialah aspek dari kebudayaan.       Kebudayaan dalam hal ini mencakup beberapa aspek aturan yang hidup di dalam ingatan kolektif suatu masyarakat dan diturunkan secara verbal dari satu generasi ke generasi yang lain. Hoebel dan Lwellyn, dalam buku Cheyene  Way mengidentifikasi ada tiga bentuk manifestasi aturan yaitu  (1) sebagai aturan ajaib yang mencakup beberapa aspek isi dari kodifikasi aturan dalam masyarakat yang sudah kompleks atau berbentuk keinginan yang terumus dalam ingatan orang-orang cerdik dalam masyarakat-masyarakat sederhana, (2) sebagai pola-pola kelakuan yang konkret dari para masyarakat suatu masyarakat, dan (3) sebagai prinsip-prinsip yang diabstraksikan dari keputusan para pemegang otoritas hukum, saat menuntaskan sengketa dalam masyarakat.

Kemudian, dalam buku Cheyene Way, berdasarkan Adamson Hoebel dan Karl Lwellyn, ada empat unsur hakiki dari aturan yaitu (1) unsur sanggup dilaksanakannya suatu ”imperatif” (yang memerintahkan bahwa masyarakat dari suatu masyarakat tertentu harus berperangai tertentu), (2) unsur ”supremasi” (yang mengidentifikasi sesuatu tanda-tanda sebagai aturan berdasarkan fakta), (3)  unsur  sistem (hukum potongan dari tatanan yang berlangsung), dan (4) unsur pengetahuan resmi (bahwa aturan mempunyai kualitas publik dan diakui resmi). Keempat unsur ini biasanya mengelompok dan menjadi suatu tanda-tanda yang biasa disebut sebagai otoritas di dalam kelompok atau suatu kebudayaan.

Menurut L. Pospisil, aturan mempunyai empat sifat dasar yaitu (1) keputusan aturan didukung oleh suatu kekuasaan, (2) keputusan aturan dimaksudkan berlaku umum, (3)  keputusan aturan menetapkan hak pihak yang satu dan kewajiban pihak yang lain, dan (4) keputusan aturan memilih sifat dan beratnya sanksi. Menurut Hoebel ada tiga fungsi pokok aturan yaitu (1) aturan menegaskan kekerabatan antara para anggota masyarakat dengan memilih sikap yang layak dalam keadaan tertentu, (2) aturan membagi-bagi wewenang untuk memakai paksaan dalam melakukan sanksi, (3) aturan berfungsi untuk menegaskan hubungan–hubungan sosial dan untuk menjamin adanya fleksibilitas.

Sanksi pada umumnya diartikan sebagai apa yang oleh aturan itu sendiri dikatakan akan atau mungkin terjadi terhadap orang-orang yang dianggap bersalah sebab melanggar suatu aturan hukum. Oleh para jago ilmu sosial,  melanggar  suatu aturan aturan didiberi arti yang lebih luas dari penerapannya dalam hukum, yaitu sesuatu yang dikenakan bagi orang yang berlaku tidak sesuai.

Salah satu fungsi hukuman yang terpenting, baik hukuman aturan maupun bukan, ialah membuat orang takut untuk melanggar norma sosial. Masyarakat Barat membedakan antara kejahatan terhadap negara dan kejahatan terhadap individu,  sedangkan di masyarakat non Barat tidak ada konsepsi tersebut. Pada masyarakat nonbarat lebih dikenal jenis pelanggaran umum atau jenis pelanggaran pribadi. Kemudian, apabila ada proses peradilan, maka dalam banyak hal, khususnya bagi kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat non Barat, ialah lebih banyak untuk memulihkan harmoni daripada untuk menghukum yang bersalah.

Banyak penulis wacana hukum, masih sering mengemukakan pandangan bahwa hukuman selalu bersifat  penderitaan fisik. Misalnya, berdasarkan Hoebel  bahwa prasyarat adanya aturan ialah penerapan paksaan fisik yang dianggap sah. Sementara itu Hoebel merumuskan bahwa norma sosial barulah ialah aturan apabila pelanggarannya atau pengabaiannya secara teratur diikuti oleh pelaksanaan atau bahaya yang bersifat fisik.

Bila berbicara wacana aturan dan keterkaitannya dengan masalah        kesejahteraan sosial, maka pertama kita harus melihat arti kesejahteraan sosial dalam pengkajian sosial terhadap aturan yang bersifat sangat kontekstual. Pemahaman terkena kesejahteraan sosial haruslah ditempatkan dalam konteks politik, ekonomi dan sosial kultural setiap masyarakat dan pada dimensi waktu tertentu. melaluiataubersamaini demikian, pengertian kesejahteraan  sosial sanggup bersifat  sangat pluralistik.       

Istilah kesejahteraan sosial pada umumnya bahwasanya mengacu pada suatu pertolongan yang diupayakan oleh individu, kelompok-kelompok kekerabatan, masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatasi kondisi-kondisi  sosial tertentu. Beckmann melihat bahwa di tingkat pertama istilah tersebut mengatakan keragaman nilai atau ideologi, dan dalam bentuk yang lebih konkret, ibarat tujuan-tujuan dari kebijakan. Pada tingkat yang diberikut, istilah ini kemudian mengacu pada forum penyelenggara. melaluiataubersamaini demikian kesejahteraan sosial tidak bersifat universal. Kemudian, di tingkat yang terakhir yaitu pada tingkat pelaksanaan kegiatan, kesejahteraan sosial diupayakan oleh individu dan kelompok dan sanggup mewarnai banyak proses sosial yang beragam.
Sumber: Materi Kuliah ISBD
0 Komentar untuk "Moralitas Dan Hukum"

Back To Top